Media dan Kekuasaan: Bagaimana Elit Mengendalikan Opini Publik
Rabu, 29 Januari 2025 20:42 WIB
---
Dalam kajian sosiologi media, teori kelas dominan (The class-dominant theory) memiliki peran utama dalam memahami bagaimana media massa berfungsi sebagai sarana reproduksi kekuasaan. Media juga jadi sarana dominasi ideologi oleh kelompok elit.
Berdasarkan slide ajar mata kuliah Kajian Media dan Budaya yang ditulis Morrisan (Morrisan, 2024), teori kelas dominan menjelaskan bahwa media mencerminkan sekaligus memproyeksikan perspektif kelompok elit minoritas sebagai pihak yang mengendalikan industri media. Teori ini memberikan kerangka analisis kritis dalam menelaah hubungan antara media, kekuasaan, dan masyarakat. Selain itu juga menjelaskan bagaimana struktur ekonomi dan politik berpengaruh terhadap isi dan praktik media.
Artikel ini akan membahas teori kelas dominan, mengulas asumsi dasarnya, serta memberikan contoh konkret dalam konteks media modern.
Asumsi Dasar Teori Kelas Dominan
Teori kelas dominan berakar pada pemikiran Marxis tentang struktur sosial, yang menekankan bahwa masyarakat terdiri dari kelas-kelas dengan kepentingan ekonomi yang saling bertentangan. Dalam perspektif ini, media massa dipandang sebagai instrumen yang digunakan oleh kelas penguasa (borjuis) untuk mempertahankan dominasinya atas kelas pekerja (proletar). Beberapa asumsi utama teori ini meliputi:
- Kepemilikan Media oleh Elite: Media dikendalikan oleh individu atau korporasi yang memiliki kekuatan ekonomi, sehingga mereka memiliki kontrol penuh atas informasi yang disebarkan.
- Produksi Ideologi Dominan: Media digunakan sebagai alat untuk menyebarluaskan ideologi yang menguntungkan kepentingan kelas penguasa, termasuk dalam menutupi konflik kelas serta menormalisasi ketidaksetaraan sosial.
- Pemusatan Kekuasaan Media: Dengan kepemilikan media yang semakin terkonsentrasi, pengaruh terhadap opini publik menjadi lebih mudah dikendalikan oleh kelompok kecil yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik.
Perkembangan Sejarah Teori Kelas Dominan
Untuk memahami teori ini secara lebih mendalam, penting untuk menelusuri bagaimana teori kelas dominan berkembang seiring waktu. Pada era industrialisasi, media cetak seperti surat kabar menjadi alat utama dalam dominasi wacana. Surat kabar merupakan bentuk jurnalistik yang memiliki tiga aspek utama, yaitu struktur, kosakata, dan ejaan, yang di dalamnya terdapat karakteristik penulisan berita jurnalistik (Ermanto dalam Haviz, 2017). Banyak surat kabar yang dimiliki oleh pengusaha besar digunakan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah, membentuk opini publik, dan menekan gerakan buruh.
Memasuki abad ke-20, kehadiran radio dan televisi semakin memperkuat dominasi kelas penguasa. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, jaringan televisi besar seperti CBS dan NBC sering kali mempromosikan kebijakan pemerintah yang berpihak pada kepentingan bisnis selama Perang Dingin, sementara suara oposisi lebih sering diredam. Media massa pun menjadi alat utama dalam menyebarkan propaganda yang mendukung kapitalisme dan menekan ideologi alternatif seperti sosialisme.
Di era digital, dominasi media memasuki babak baru dengan munculnya platform digital dan teknologi big data. Big data merupakan kumpulan data dalam jumlah besar yang tidak dapat diolah dengan alat tradisional dan membutuhkan metode khusus untuk mengungkap nilai yang terkandung di dalamnya. Teknologi ini tidak hanya memperluas jangkauan kontrol media, tetapi juga memungkinkan kelas penguasa untuk melacak perilaku individu secara rinci. Selain digunakan untuk strategi pemasaran, big data juga dimanfaatkan dalam manipulasi opini politik.
Kritik terhadap Media dalam Perspektif Kelas Dominan
Dalam kajian akademik, teori kelas dominan sering digunakan untuk mengkritik fenomena monopoli media, bias pemberitaan, serta pengabaian terhadap suara-suara marginal. Misalnya, isu-isu yang berkaitan dengan hak pekerja sering kali kurang mendapatkan perhatian dibandingkan dengan kebijakan yang menguntungkan bisnis besar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberitaan media cenderung mendukung kebijakan neoliberal yang menguntungkan perusahaan multinasional (McChesney, 2004).
Selain itu, kritik terhadap bias media juga berkaitan dengan teknik framing dalam berita. Framing adalah cara media membentuk sudut pandang audiens terhadap suatu isu. Dalam banyak kasus, media yang dikendalikan oleh elit sering kali memperkuat stereotip tertentu, seperti dalam pemberitaan kelompok minoritas yang digambarkan sebagai ancaman terhadap stabilitas sosial.
Relevansi dan Kritik terhadap Teori Kelas Dominan
Teori kelas dominan tetap relevan dalam era globalisasi dan perkembangan kapitalisme berbasis platform. Namun, teori ini juga mendapat kritik, terutama terkait dengan kurangnya perhatian terhadap peran audiens sebagai agen aktif yang mampu menafsirkan pesan media secara kritis (Fiske, 1987). Selain itu, pluralitas sumber informasi di era digital menghadirkan tantangan bagi asumsi bahwa media sepenuhnya dikendalikan oleh kelas penguasa.
Namun, relevansi teori ini semakin kuat dengan munculnya fenomena seperti fake news dan post-truth. Menurut Chen dalam Ginting (2022), hoaks adalah informasi menyesatkan yang dapat merusak persepsi publik dengan menyajikan kebohongan sebagai fakta. Dalam situasi ini, elit kekuasaan dapat memanfaatkan media untuk menyebarkan informasi yang memanipulasi kebenaran demi kepentingan tertentu, sehingga masyarakat semakin sulit membedakan antara fakta dan opini yang dipengaruhi bias kekuasaan.
Literasi Media sebagai Upaya Menghadapi Dominasi Kelas
Literasi media menjadi salah satu solusi dalam menghadapi dominasi media oleh kelas elit. Kemampuan berpikir kritis dalam menganalisis dan mengevaluasi konten media dapat membantu individu memahami sumber informasi, teknologi komunikasi, kode yang digunakan, pesan yang dihasilkan, serta dampaknya (Rubin dalam Khairul, 2017).
Di berbagai negara, program literasi media telah terbukti meningkatkan kesadaran kritis masyarakat. Sebagai contoh, Finlandia berhasil meningkatkan kemampuan warganya dalam mengenali informasi palsu dan propaganda melalui kampanye literasi media, menjadikannya salah satu negara dengan tingkat literasi media tertinggi di dunia (CNN, 2019).
Di Indonesia, literasi media masih menjadi tantangan besar akibat rendahnya tingkat pendidikan serta keterbatasan akses terhadap informasi. Namun, berbagai inisiatif seperti program literasi media yang diselenggarakan oleh Kemenkominfo (sekarang Komdigi) dan organisasi masyarakat sipil telah mulai menunjukkan hasil positif (Komdigi, 2020).
Studi Kasus: Media di Indonesia
Di Indonesia, teori kelas dominan dapat dilihat dalam fenomena konsentrasi kepemilikan media yang dikuasai segelintir konglomerat, seperti MNC Group, Kompas Gramedia, dan Jawa Pos Group. Situasi ini menciptakan dominasi narasi yang mencerminkan kepentingan ekonomi dan politik pemilik media.
Sebagai contoh, pemberitaan terkait kebijakan ekonomi cenderung berpihak pada pemerintah atau korporasi, sementara kritik terhadap kebijakan tersebut sering diminimalkan. Hal ini tampak dalam pemberitaan selama pemilu, di mana media tertentu menunjukkan keberpihakan terhadap kandidat tertentu sesuai dengan afiliasi politik pemiliknya (Nugroho, dkk).
Di era digital, dominasi kelas juga terlihat dalam platform media sosial. Algoritma yang digunakan oleh platform seperti YouTube dan Facebook lebih mengutamakan konten yang menguntungkan secara finansial, sering kali dengan mengorbankan konten edukatif atau kritis. Selain itu, fenomena buzzer politik yang aktif dalam pemilu menunjukkan bagaimana elit dapat memanfaatkan media sosial untuk membentuk opini publik sesuai agenda mereka.
Kesimpulan
Teori kelas dominan memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana media digunakan sebagai alat kekuasaan. Dalam era yang semakin terkoneksi dan terpolarisasi, pemahaman mengenai pengaruh ekonomi dan politik dalam industri media menjadi semakin penting. Dengan memperkuat literasi media dan kesadaran publik, masyarakat dapat menjadi lebih tangguh dalam menghadapi dominasi media oleh kelas elit. Dengan demikian, media dapat lebih diarahkan untuk melayani kepentingan publik, bukan sekadar menjadi alat pelanggengan kekuasaan elit.
---
Daftar Pustaka
Fiske, J. (1987). Television Culture. Methuen.
Ginting, Imelda (2022). Pentingnya Daya Kritis Masyarakat Tangkal HOAX. Artikel Babelprov
Haviz, Sarbaini (2017). Penerapan Kode Etik dalam Foto Jurnalistik di Surat Kabar Pekanbaru MX. Skripsi UIR
Herman, E. S., & Chomsky, N. (1988). Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. Pantheon Books.
Khairul, Khairul (2017). Path dan Literasi Media Bagi Pemilik Akun. Skripsi UIR.
Komdigi (2020, 26 Agustus). Kemenkominfo Dorong Literasi Media untuk Tangkal Hoaks. Komdigi
Mackintosh, Eliza (2019, Mei). Finland is winning the war on fake news. What it’s learned may be crucial to Western democracy. CNN.
McChesney, R. W. (2004). The Problem of the Media: U.S. Communication Politics in the Twenty-First Century. Monthly Review Press.
Mosco, V. (2009). The Political Economy of Communication. SAGE Publications.
Nugroho, Y., Putri, D. A., & Laksmi, S. (2012). Mapping Media Policy in Indonesia. European Union.
Pariser, E. (2011). The Filter Bubble: How the New Personalized Web Is Changing What We Read and How We Think. Penguin Press.
Slide Ajar Mata Kuliah Kajian Media dan Budaya - Morrisan

Seorang Mahasiswa S2 Magister Ilmu Komunikasi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid
0 Pengikut

Media dan Kekuasaan: Bagaimana Elit Mengendalikan Opini Publik
Rabu, 29 Januari 2025 20:42 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler